Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II – 467)

Dokter cantik itu menjerit melihat pistol ditangan polisi itu terarah pada si Bungsu yang masih saja tak mengacuhkannya. Dan si Bungsu, yang telah pulih kembali naluri rimbanya, mendengar dengan jelas pelatuk pistol yang ditarik. Dan hanya berbeda dua detik dari letusan pistol itu, dia lebih duluan membalik dan mengayun tangan kanannya! Dua bilah samurai kecil lepas dari tangannya. Menghantam leher dan dada polisi yang tengah menembak itu! Ppstolnya meledak, pelurunya menghantam loteng, kemudian polisi itu rubuh! Si Bungsu kembali menoleh pada para petugas Dallas Central Hospital itu, dan dengan tenang berkata:
‘’Anda jadi saksi, saya hanya membela diri’’
Lalu dia memberi isyarat agar mengerjakan segera mayat Tongky. Dengan gugup petugas itu melaksanakan perintahnya. Saat itu terdengar ada yang berkata;
‘’Anda mencari bencana, Tuan. Anda melawan Polisi Dallas. Anda melawan kawah gunung merapi..’’
Si Bungsu menoleh pada yang bicara itu. Dan yang bicara itu adalah dokter wanita cantik yang tadi mengantar kedua polisi ke ruangan ini.
‘’Anda membunuh mereka…’’ kata dokter itu lagi.
Si Bungsu masih tak menjawab. Namun tak lama kemudian, salah seorang dari polisi itu, yaitu yang bertubuh besar, yang kena hantam hingga pingsan, mulai bergerak.
‘’Dia dan temannya itu takkan mati. Yang kena tikam pisau itu hanya pingsan untuk jangka waktu dua atau tiga jam. Dia akan segera sadar..’’ ujar si Bungsu pelan sambil mendekati polisi yang tak bergerak itu.
Mencabut samurai kecil di leher dan di dana di polisi itu. Dia memang tak berniat membunuh polisi tersebut. Kalau mau, dengan mudah dia bisa melakukan. Dia hanya merasa muak atas perlakuan mereka. Yang merasa super menjadi orang putih. Yang amat menghina orang kulit berwarna. Kebenciannya pada orang kulit berwarna tergambar dalam ucapan dan perlakuannya ketika memeriksa mayat Tongky.
Mereka tidak hanya memperlakukan mayat itu secara tak sopan, tetapi juga berniat merampok dompetnya yang berisi uang dan jam tangan roleknya!  Itulah yang membuat mual si Bungsu, dan yang membuat amarahnya tak terkendalikan. Ketika polisi yang satu akhirnya sadar, dia mendapatkan dirinya telah terborgol bersama temannya yang masih pingsan dengan leher dan dada berdarah. Si polisi menyumpah-nyumpah mendapatkan dirinya dilumpuhkan begitu.
‘’Jahanam, kau akan mendapat pembalasan..’’ sumpahnya pada si Bungsu.
Si Bungsu tak mengacuhkan. Namun suasana segera berubah, tatkala tiba-tiba dari arah mereka masuk tadi terdengar derap sepatu. Seorang dokter lelaki kelihatan masuk, dan di belakangnya ada dua orang polisi yang seragamnya persis seperti dua polisi yang dilumpuhkan si Bungsu. Si Bungsu tahu, dia harus melawan atau masuk bui. Daerah ini kelihatannya amat keras dan tak menyukai orang-orang kulit berwarna, terutama orang negro.
Makanya dia bersandar ke dinding, menatap dengan diam pada polisi yang datang itu. Dia akan melihat situasi, kalau kedua polisi itu cukup sopan, dia akan melayaninya baik-baik. Tapi kalau mereka kasar seperti kedua polisi yang terdahulu itu, maka dia juga akan melayaninya menurut selera mereka. Ah, jauh-jauh datang dari Minangkabau, alangkah memalukannya kalau hanya takut melawan polisi yang zalim. Apalagi  jumlahnya hanya dua orang. Bukankah dulu ketika di Tokyo dia juga pernah menghadapi tentara Amerika? Tentara Amerika yang hendak memperkosa Michiko. Dua tentara yang sombong, dan keduanya dia sudahi nyawanya!
Dia sudah datang di kota belantara ini. Dalam tiap belantara, berkeliaran mahluk-mahluk buas. Dia sudah diberi ingat ketika masih di Singapura akan hal itu oleh teman-temannya. Kedua polisi itu menatap si Bungsu. Menatap pada dua polisi yang tergeletak berlumur darah dan tangannya diborgol di lantai. Si Bungsu menatap dengan diam. Polisi itu menatap mayat Tongky. Kemudian menatap si Bungsu.
‘’Maaf, Tuan, kami dari Kepolisian Dallas, apakah Tuan yang meninggal tertembak ini teman Tuan?’’
Si Bungsu buat sesaat tak bisa menjawab oleh sikap yang sopan itu. Tak ada nada permusuhan. Tak ada nada kebencian terhadap kulit berwarna. Kedua polisi itu justru menyebut ‘Tuan’ pada mayat Tongky.
‘’Ya, saya temannya…’’ ujar si Bungsu akhirnya.
Namun dia masih tetap waspada. Kedua polisi itu mendekati temannya yang tergeletak. Si Bungsu jadi kaget tatkala mendengar dialog polisi yang baru datang itu:
‘’Jahanam! Kau merusak nama korp kami. Kini kau rasakan akibatnya. Kalian para bandit haus darah! Kalian akan dihukum tanpa prosesverbal!’’
‘’Kawan-kawan kami akan membebaskan kami’’ ujar polisi yang tergeletak itu sambil nyengir.
Dua orang polisi lainnnya segera hadir dalam kamar mayat itu. Dan kedua polisi yang baru datang itu segera diperintahkan untuk menyeret dua polisi yang dilumpuhkan si Bungsu. Si Bungsu tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Apakah ada komplotan dalam tubuh kepolisian Dallas? Kedua polisi itu kembali melakukan hal yang tadi dilakukan oleh polisi terdahulu. Mencatat nama dan identitas Tongky dan si Bungsu.
‘’Maaf, kami datang terlambat ke hotel dimana kejadian ini berlangsung. Soalnya mereka telah merencanakan pembunuhan ini dengan baik..’’
‘’Merencanakan?’’ kata si Bungsu heran.
‘’Ya, mereka. Anda tak tahu?’’
Si Bungsu menggeleng.
‘’Mereka dari kelompok gerombolan Klu Klux Klan, Anda tak tahu?’’
Si Bungsu kembali menggeleng.
‘’Anda tak tahu bahwa ini direncanakan atau Anda tak tahu apa-apa tentang Klu Klux Klan?’’
‘’Kedua-duanya. Saya tak tahu untuk apa organisasi itu merencanakan pembunuhan teman saya..’’
Kedua polisi itu saling pandang. Kemudian menarik nafas panjang.
‘’Kawanmu ini, Tuan, dibunuh oleh suatu kelompok orang-orang yang haus akan darah negro. Mereka adalah kelompok iblis yang sebenarnya. Negeri ini, dan hampir semua negeri di selatan ini, kini tengah dilanda oleh kerusuhan rasial yang paling buruk. Kau akan melihatnya nanti… Kawanmu ini mati karena koran ini…’’ ujar polisi itu memperlihatkan sebuah koran.
Koran itu sama dengan koran yang mereka baca tadi pagi di hotel: Pioneer! Di halaman satu ada foto Tongky. Sedang duduk diruang tunggu lapangan di Mexico City. Kakinya ke atas meja, di depannya ada piring bekas goreng ayam. Tongky tersenyum. Foto itu jelas diambil fotografer kawakan dengan memakai telelens. Pioneer menceritakan tentang betapa Tongky menyelamatkan pesawat itu.
‘’Kenapa dengan koran itu?’’ tanya si Bungsu tak mengerti.
‘’Koran ini menjadikan kawanmu pahlawanan, Tuan’’
‘’Lantas?’’
‘’Cerita itulah yang menyebabkan kematiannya’’
‘’Saya tak mengerti…’’
‘’Tuan, seperti yang saya katakan, kedua polisi tadi adalah polisi gadungan. Mereka merencanakan pembunuhan temanmu ini. Mula-mula mereka membaca koran pagi, bahwa ada seorang negro yang jadi pahlawan. Menyelamatkan puluhan penumpang. Pemerintah Amerika dan rakyatnya tentu saja bangga dan menganggap temanmu itu pahlawan. Hal itu menyakitkan hati anggota Ku Klux Klan, orang kulit putih yang anti negro! Karenanya mereka lalu memutuskan untuk membunuh negro yang dianggap pahlawan ini. Mereka memiliki hampir semuanya, senjata, uang, dan koneksi. Mereka memiliki uniform polisi, tentara atau bahkan pakaian kerajaan…’’
—o0o—
HUJAN turun rintik-rintik tatkala seorang pendeta berjubah hitam membacakan doanya. Karangan bunga kelihatan menumpuk di pusara itu. Ada sekitar dua puluh orang lelaki perempuan yang hadir dalam upacara penguburan Tongky. Kesemuanya orang-orang yang dibayar. Inilah kehidupan di kota belantara. Untuk hadir di pemakaman, orang bisa diupah. Semuanya hadir dengan pakaian berkabung.
Wajahnya sendu, kepala menunduk menatap bumi. Dan mereka tak beranjak, tidak pula berucap sepatahpun meski hujan turun gerimis.
Setelah pendeta membaca doa, satu persatu mereka melangkah meninggalkan komplek pemakaman. Berlalu dengan langkah yang tak tergesa-gesa. Betapapun, si Bungsu merasa agak terhibur atas pelaksanaan pemakaman temannya itu. Dia tinggal sendiri di pemakaman itu. Dengan mantel hujan tebal menutupi tubuhnya. Sebuah topi stetson merek Morris di kepala.
Dia mirip …

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.