Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II – 468)

Dia mirip detektif yang tengah menatap pusara dengan lima atau enam karangan bungan.
Karangan bunga yang dipesan atas uang yang dia serahkan pada dokter di rumah sakit tadi pagi. Senjapun turun ketika dia jongkok dekat pusara temannya itu. Dia ingin bicara, tapi tak ada suaranya yang keluar. Bersama mereka dari Singapura, kini ketika hari pertamanya di sini, kawannya ini pergi mendahuluinya. Kawannya itu datang kemari untuk menemaninya mencari Michiko. Dan ternyata dia mengorbankan nyawanya. Akan dia beritahukah Fabian dan kawan-kawan eks pasukan baret hijau di Singapura? Belum ada simpulan yang dia ambil.
‘’Aku akan balaskan kematianmu, kawan… Aku bersumpah untuk membalasan kematianmu…’’ akhirnya terdengar juga ucapan separuh berbisik dari mulut si Bungsu.
Tangannya memetik beberapa kuntum bunga plastik yang mirip benar bunga sungguhan yang dipakai sebagai karangan bunga di makam itu. Dia menyimpan kuntum bunga berwarna violet itu dalam kantong jas hujannya. Dan ketika dari kejauhan terdengar bunyi genta lonceng gereja, dia melangkah meninggalkan areal pusara tersebut. Senjapun turun memeluk pemakaman itu.
—o0o—
Esoknya, dia duduk termenung sendirian di hotrl. Memikirkan langkah yang akan dia ambil. Dia akan mencari Michiko, tapi terlebih dahulu dia akan mencari jejak pembunuh Tongky. Pembunuh sahabatnya itu harus dia temukan. Dia akan membuat perhitungan. Tapi kemana dia harus mencari mereka? Di negeri asing dan seluas ini? Apa yang dia ketahui tentang negeri ini?
Ah, ketika mula pertama dia datang di Jepang dahulu dia juga tak tahu apa-apa tentang negeri itu. Malah hanya bisa ngomong bahasa Jepang sepatah-sepatah, belajar dari Kenji selama pelayaran dari Singapura menuju Jepang. Kini dia fasih berbahasa Inggeris. Dia dengan mudah berkomunikasi dengan setiap orang. Dia duduk termenung, dan tiba-tiba ada suara di aiphone.
‘’Tuan, jika tuan melihat keluar dari jendela kamar tuan, tuan akan melihat demonstrasi kelompok Klu Klux Klan yang pagi kemarin membunuh teman tuan…’’
Si Bungsu tersentak. Suara di aiphone itu pastilah suara petugas di resepsionis. Dia segera bangkit, menuju ke jendela. Jauh di bawah sana, dalam terik matahari pukul sepuluh, dia lihat orang-orang berpawai. Ada yang berkuda, ada yang berjalan kaki. Dari tempatnya di tingkat tujuh ini, kelompok di bawah sana tak begitu jelas.
Orang-orang di atas punggung kuda itu, maupun yang berbaris, hampir semua memakai semacam topi yang bahagian atasnya runcing. Wajah mereka tertutup habis, hanya ada dua lobang kecil tentang mata untuk sekedar tempat melihat. Sebahagian besar pula diantara orang-orang itu kelihatan memakai jubah putih. Banyak sekali spanduk yang mereka bawa.
Merasa tak puas melihat dari jauh, dalam waktu singkat si Bungsu sudah turun ke bawah. Para penghuni hotel yang lain nampaknya tak acuh. Mereka lebih suka berada di hotel saja ketimbang melihat demonstrasi itu. Si Bungsu mendekat ke jalan raya. Melewati teras dimana pagi kemarin Tongky tertembak mati. Lalu berjalan sekitar lima puluh meter untuk mencapai jalan besar dimana para demonstran itu lewat.
Ternyata semua mereka memakai jubah putih mirip jubah pendeta. Di dada sebelah kiri mereka ada gambar salib terbakar dan gambar bercak-bercak merah darah. Mereka umumnya membawa bedil. Senapan mesin, pistol dan sejenisnya. Mereka membawa poster-poster yang mencaci maki pemerintah yang memberi hati terhadap kulit hitam. Mereka juga menulis dalam poster tentang niat mereka melenyapkan kulit hitam dari seluruh daratan Amerika.
Beberapa kali demonstran ini menembakkan senapa mereka ke udara. Mereka berteriak-teriak. Si Bungsu membayangkan, bahwa salah seorang diantara wajah-wajah yang bersembunyi di balik topeng itu adalah wajah yang kemarin menembak mati Tongky di hotel ini. Dia tak mengerti kenapa demonstran begini dibiarkan pemerintah. Kenapa tak seorangpun kelihatan polisi atau tentara yang dikerahkan untuk membubarkan demonstrasi yang jelas-jelas menginjak injak deklarasi Amerika tentang penghapusan perbudakan yang dipelopori oleh Abraham Lincoln itu.
Bukankah dahulu perang saudara yang dipicu oleh deklarasi penghapusan budak telah membelah Amerika bahagian Utara yang anti perbudakan dengan wilayah di Selatan yang ingin tetap mempertahankan perbudakan? Bukankah akhirnya Selatan kalah dan menerima tanpa syarat penghapusan perbudakan? Kenapa kini ditahun 1963 ini, demonstrasi yang menghasut tumbuhnya kembali semangat perbudakan itu dibiarkan berbuat leluasa?
Pertanyaan itu terjawab ketika suatu hari dia berada di sebuah perpustakaan kota. Pustaka itu terletak di sebuah gedung tua bertingkat enam. Pustakanya sendiri berada di lantai lima. Seorang tua terkantuk-kantuk karena sepinya pengunjung.
‘’Polisi bukannya takut menghadapi Klu Klux Klan itu, Tuan. Tapi mereka hanya menghindarkan bentrok berdarah. Kaum anti-kulit hitam itu berdemonstrasi akibat disahkannya tiga Undang-Undang dalam setahun ini, yang memberi hak sama dan keleluasaan lebih luas bagi kulit hitam. Itu berarti kalahnya loby mereka di Senat…’’ penjaga pustaka itu menjelaskan pertanyaan si Bungsu sambil berjalan ke sebuah rak.
‘’Anda butuhkan segala sesuatu keterangan tentang otganisasi iblis itu?’’
‘’Benar, Pak …’’
‘’Tak banyak keterangan tentang mereka. Yang ada hanyalah kliping koran, majalah dan sedikit buku-buku. Organisasi itu sendiri berdiri pada tahun 1865. Nah…. Ini dia. Di rak yang sedikit ini adalah segala tulisan tentang Klu Klux Klan. Anda bisa membacanya. Saya akan meninggalkan Anda di sini. Kalau Anda akan meminjam buku, Anda bisa membawa sebanyak yang Anda suka dengan meninggalkan uang jaminan karena Anda bukan anggota. Kalau Anda ingin membaca di sini, Anda dapat membacanya sampai besok pagi…’’
‘’Terima kasih, Pak tua. Saya akan membacanya di sini, barangkali hanya sedikit yang ingin saya baca’’
Orang tua itu meninggalkan si Bungsu yang lalu meneliti buku-buku yang ada di rak yang tadi ditunjukkan lelaki tua itu. Semua kelihatan masih baru. Hanya sedikit berdebu. Majalah, koran dan beberapa buku cetakan khusus yang tak begitu tebal. Dia memilih sebuah majalah, The New York Times. Dia mengetahui dari Kapten Fabian bahwa koran yang satu ini dapat dipercaya keterangannya.
Penjelasan itu…

3 responses to “Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II – 468)”

  1. ceritnya bgs bnr,kapan sambungan di terbitkan lagi…..?

  2. Lah lamo ambo tunggu kok indak juo ado sambungannyo da ?

  3. uda, dallas belumselesai tapi sudah ke vietnam, tolong da, selesaikan dallasnya, terima kasih

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.